Senin, 18 Desember 2023

Cerita Wayang Perang Baratayudha

Perang Baratayudha (cerita wayang)

Sebuah Kisah Sosok Pemimpin Yang Ambisi dan Haus Kekuasaan.
Berdasarkan sejarah Perang Baratayudha, perang ini sering disebut sebagai gambaran perang kejahatan melawan kebaikan. Perang Baratayudha merupakan perang persaudaraan, di mana Pandawa melawan sepupunya yaitu Kurawa.
(Dikutip dari Buku Borobudur Bukan Candi)
Awalnya pihak Kurawa ingin menguasai tahta Hastinapura secara penuh dengan melakukan berbagai cara dan usaha, puncaknya terjadi perang Baratayudha di padang Kurusetra yang berlangsung selama 18 hari lamanya.
Kisah cerita perang Baratayudha berawal perselisihan Pandawa melawan sepupunya yaitu Kurawa. Baratayudha adalah istilah yang mengenai perang besar yang terjadi di Kurusetra antara keluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa.
Perang Batarayudha merupakan klimaks dari kisah Mahabarata sebab adanya perselisihan Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa atau Yudistira dengan Kurawa yang dipimpin Duryudana.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Kurawa sudah ada sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Suatu ketika, Pandu yang merupakan ayah para Pandawa membawa pulang tiga orang putri yang berasal dari tiga negara yakni Dewi Kunti, Dewi Gendari dan Dewi Madrim.
Salah satu dari ketiga putri tersebut dipersembahkan pada kakaknya yang buta, bernama Destarasta, dan Destarasta memilih putri Dewi Gendari karena yakin bahwa putri tersebut bisa memiliki banyak anak.
Pernyataan Destarasta tentu saja membuat Dewi Gendari merasa sakit hati, kemudian Dewi Gendari bersumpah bahwa keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Dewi Gendari isteri Destarasta berputra 100 anak,
Dewi Kunti isteri Pandu berputra 3 anak, dan
Dewi Madrim isteri kedua Pandu berputra 2 anak kemudian meninggal
dan kedua anak Dewi Madrim di asuh oleh Dewi Kunti.
Ketika Pandu Meninggal, anak-anaknya selalu menjadi incaran sepupunya yaitu para Kurawa. Mulai dari usaha pembunuhan di istana yang terbakar hingga perebutan kerajaan Amarta melalui permainan dadu.
Kekalahan Pandawa dalam perjudian itu membuat mereka harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun. Namun, setelah masa hukuman selesai para Kurawa menolak mengembalikan hak-hak dari para Pandawa.
Sebenarnya, Yudhistira atau Puntadewa sebagai kakak tertua Pandawa hanya meminta 5 desa saja yang dikembalikan ke Pandawa, tidak utuh satu Amarta. Tapi Kurawa tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke Pandawa.
Akhirnya, keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi. Perang Baratayudha terjadi begitu saja hingga banyak kesatria yang gugur di medan perang dataran Kurusetra.
Di akhir perang, hanya ada sepuluh kesatria yang berhasil bertahan hidup. Kesatria tersebut yaitu lima Pandawa (Puntadewa, Bratasena, Harjuna, Nakula, dan Sadewa) Yuyutsu, Kripa, Setyaki, Kartamarma dan Aswatama.
Dalam perang Baratayudha ini dimenangkan oleh kubu Pandawa meskipun banyak kesatria yang gugur di medan perang. Setelah perang usai, Yudhistira pada akhirnya dinobatkan menjadi raja Hastinapura.
Peran dalam perang baratayuda ini kubu kurawa adalah Patih Sangkuni dan Begawan Durna, sedangkan kubu pandawa Prabu Kresna.
Kisah perang Baratayudha sebenarnya memiliki cerita yang sangat panjang, dan penjelasan singkat tersebut sudah menggambarkan awal dan akhir perang Baratayudha secara keseluruhan.












Bisma Dewabrata Putra Hastinapura

Kisah Bisma Dewabrata Putra Hastinapura

Bisma adalah anak dari Raja Hastinapura Prabu Sentanu dengan Dewi Gangga, karena suratan takdir ibunya harus meninggalkan Bisma dan ayahnya sewaktu Bisma masih bayi.
Bisma diasuh oleh orang terbaik dalam lingkungan Kerajaan dan diberikan pendidikan terbaik budi pekerti serta olah keprajuritan karena dialah yang kelak akan meneruskan tahta Hastinapura.
Setelah tumbuh menjadi seorang remaja yang kuat, Bisma lebih sering keluar Keraton pergi ke sudut-sudut terjauh negeri untuk menelisik arti kehidupan dan mencari guru-guru hebat yang bisa mengajarinya arti kehidupan dan juga ilmu keprajuritan. Dalam diri Bisma, tampaknya suksesi tahta Hastinapura akan berjalan dengan mulus ketika tiba saatnya nanti.

Sumpah Bisma
Pada suatu hari Bisma melihat ayahnya Prabu Sentanu tampak termenung dan tidak bersemangat, akhirnya ia mengetahui bahwa ayahnya ingin menikah dengan Dewi Satyawati namun sang Dewi meminta syarat yang berat bahwa kelak keturunannya yang akan menjadi raja.
Karena cintanya kepada ayahnya, ia menemui Dewi Satyawati dan berjanji untuk melepaskan haknya atas tahta Hastinapura, namun seperti kebanyakan manusia yang haus akan kekuasaan, Satyawati masih menuntut lebih agar keturunan Bisma tidak mengungkit tahta Hastinapura di masa depan.
Bisma lalu menghunus keris pusakanya dan mengacungkan keris tersebut ke atas sambil mengucapkan sumpahnya untuk tidak menikah sehingga tidak ada keturunannya yang akan menuntut tahta Hastinapura. Seiring sumpahnya tersebut angin menderu kencang dan tercium semerbak wangi harum bunga pertanda para Dewata menjadi saksi atas sumpahnya.
Bisma telah membuat keputusan besar dalam hidupnya, tidak hanya melepas tahta dia juga telah melepas cintanya walaupun cinta itu belum hadir di dalam kehidupannya tanpa menyadari bahwa terkadang cinta bisa tiba-tiba datang ke dalam hidup manusia dalam bentuk yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Adik Tiri Bisma Citragada dan Wicitrawirya 
dari pernikahan Prabu Santanu dengan Dewi Satyawati lahir dua anak laki-laki bernama Citragada dan Wicitrawirya, dua orang yang berbeda kepribadiannya.
Bisma juga mendidik kedua adik tirinya ini terutama Citragada yang akan menjadi penerus takhta. Citragada lebih menonjol di bidang olah keprajuritan sedangkan Wicitrawirya lebih menonjol di bidang ilmu pengetahuan dan tata negara. Hingga tiba saat Prabu Sentanu mangkat dan Citragada naik Tahta Hastinapura. Bisma telah menepati janjinya ketika berjanji untuk melepaskan tahtanya.
Prabu Citragada yang sebelumnya lebih bersifat pengayom berubah menjadi seorang agresor.
Oleh para Dewata dianggap telah berlebihan mengganggu keseimbangan dunia sehingga para Dewa mengirim utusannya untuk menghukum Citragada.
Citragada akhirnya gugur oleh utusan Dewa ini dalam sebuah perang tanding yang hebat. Ketika meninggalkan dunia ini Prabu Citragada belum menikah dan belum memiliki keturunan.
Secara tradisi maka yang berhak menduduki tahta adalah adiknya Wicitrawirya, namun karena masih belum cukup umur maka untuk sementara Bisma bertindak sebagai wali negara sampai Wicitrawirya siap dinobatkan sebagai Raja.
Bisma dan sayembara tiga putri raja
Suatu hari Ibu Suri Satyawati meminta tolong Bisma untuk mencarikan permaisuri untuk Wicitrawirya dan Bisma menyanggupi. Kebetulan Raja Kasi Prabu Kasindra sedang menyelenggarakan sayembara, siapapun yang bisa mengalahkan jago Kerajaan Kasi berhak memboyong tiga putri Kerajaan Kasi yang terkenal cantik jelita: Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika.
Bisma mengikuti sayembara tersebut dan menjelaskan kepada semua Kesatria yang ada di sana bahwa dia mewakili Raja Hastinapura karena Bisma banyak mendengar cemo’oh para hadirin di sana yang mengetahui sumpah tidak menikah Bisma.
Tidak ada satupun Raja dan Kesatria yang mampu memenangkan adu tanding dengan jago Kerajaan Kasindra sampai Bisma maju dan akhirnya berhasil mengalahkan jago Kerajaan Kasi tersebut dan memenangkan sayembara.

Bisma dan Dewi Amba 
Tanpa sepengetahuan Bisma ternyata Dewi Amba sudah mempunyai tambatan hati yaitu Prabu Salwa sehingga ketika Wicitrawirya mengetahui hal ini dia tidak mau menerima Amba sebagai permaisurinya dan meminta Bisma untuk menghantar Amba ke Prabu Salwa namun Prabu Salwa menolak Amba lantaran Bismalah yang memenangkan sayembara tersebut.
Betapa hancur hati Dewi Amba mendapat penolakan tersebut dan seharusnya satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab dan menerimanya adalah Bisma.
Dewi Amba terus mengikuti Bisma dan meminta Bisma untuk menerima cintanya.
Hari demi hari berlalu dan mungkin inilah salah satu kisah cinta paling rumit dalam dunia wayang.
Mungkin Bisma tidak pernah menyadari bahwa cinta bisa tiba-tiba datang dalam proses kehidupan manusia dalam berbagai bentuk dan kisah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin memang pada akhirnya Bisma benar-benar jatuh cinta kepada Dewi Amba, namun rasa cinta itu tersekat oleh janji dan sumpahnya.
Pada akhirnya Bisma adalah Kesatria utama yang tetap setia memegang sumpahnya, tiba-tiba di tangannya telah tergenggam panah pusaka, maksud Bisma mengeluarkan senjata pusaka itu hanya untuk menakut-nakuti Amba agar menjauh dan pergi darinya namun tanpa sengaja panah sakti tersebut terlepas dari tangannya dan meluncur hingga menancap di dada Dewi Amba.
Bisma sangat terkejut dan langsung meraih tubuh Dewi Amba yang sedang berada dalam sakratul maut, tidak ada tatapan dendam dari Dewi Amba kepadanya, sesaat sebelum menghembuskan napas terakhirnya Dewi Amba mengatakan kepada Bisma, kelak ketika suatu hari nanti perang besar terjadi sukmanya akan menitis di tubuh prajurit wanita bernama Srikandi dan akan menjemput Bisma untuk bersama menuju alam keabadian.
Bisma berjanji akan menunggu waktu dan hari itu.
Apa yang terjadi hari itu menjadi beban seumur hidup Bisma.
Tanpa cinta seorang wanita mungkin hidup Bisma terlihat sunyi namun karena rasa cinta pula ia menjalani dengan sabar masa kehidupannya yang panjang dan menantikan saat yang telah dikatakan Dewi Amba kepadanya. ..

sumber: media seni dan budaya wayang Indonesia.

























Selasa, 24 Oktober 2023

Cerita Wayang Palasara Rabi

Palasara Rabi

Prabu Basukiswara, raja Wirata mendengar sabda dewa bahwa, puterinya yang bernama Durgandini, akan sembuh dari keringatnya yang berbahu busuk, jika dibuang ke bengawan Silugangga. Patih Kiswata ditunjuk untuk melaksanakan pelarungan Dewi Durgandini, dan berangkatlah patih menunaikan tugas ini.

Syahdan, terjadilah gara-gara di dunia sebab Begawan Palasara tekun sekali bertapa. Hyang Guru dan hyang Narada turun ke bumi, berubah menjadi sepasang burung emprit dan membuat sarang di gelung Begawan Palasara. Lama kelamaan burung emprit bertelur, dan menetas. Begawan Palasara menjadi murka, sebab si anak emprit tak diberi makan oleh induknya. Dikejarlah burung emprit itu, ke mana saja terbangnya begawan Palasara membuntutinya. Untuk mengejar burung emprit yang sudah di seberang bengawan Silugangga adalah sukar. Kebetulan sekali terlihat oleh sang Begawan sebuah perahu beserta tukang satangnya. Dipanggilnya perahu itu dan datanglah ia. Di dalam perjalanan menyeberang bengawan, diketahuilah bahwa tukang satangnya seorang wanita yang sangat cantik. Pada tatapan pertama sang Begawan merasa jatuh cinta. Luapan asmara yang tak dapat dicegah itu, menjadikan sang begawan Palasara mengeluarkan airmaninya. Menyadari hal itu percikan air mani yang tertumpah sebagian diusapkannya di tepian kayu perahu, sebagian lagi menetes ke air bengawan, dan ditelan ikan Tambra dan kepiting. Heran sang Begawan mengetahui bahwa Dewi Durgandini berkeringat yang sangat busuk baunya. Setelah diceriterakan asal mulanya sang dewi dilarung di bengawan Silugangga, sang bersedia mengobatinya, dan sembuhlah sang dewi dari penyakitnya. Demikian pula mengenai teka-teki yang terutulis di perahu tersebut, sang Begawan tak merasa khawatir lagi. Dewi Durgandini lalu dapat diperistri oleh sang Begawan Palasara.

Naiklah keduanya ke darat, Begawan Palasara bersemedi. Dengan bersenjatakan panah dibasmilah hutan sekitar tempat bersemedi itu, dan hutan Gajahoya, atas karunia dewa, berubah menjadi suatu negeri yang disebut Astina. Hutan yang berisi bermacam-macam binatang itu kemudian berubah menjadi hutan berisi manusia, dengan rajanya Andaka, Rajari, Rajamariyi. Kesemuanya itu menjadi kawula Begawan Palasara.

Perahu yang ditinggalkan oleh Dewi Durgandini dan Begawan Palasara pecah. Dengan hilangnya perahu timbullah manusia kembar, kepiting dan ikan tambra berubah menjadi manusia. Hyang Brama menjelaskan kepada mereka, dan bersabda, wahai, sebenarnya kau berempat ini putra Palasara, ibumu adalah Dewi Durgandini, jika kamu sekalian ingin bertemu dengan ayah bundamu, pergilah ke Astina, ayahmu menjadi raja di negara tersebut. Kamu yang lahir lebih dahulu kunamakan Raden Kencakarupa dan Rupakenca. Yang lahir kemudian, yang berujud putri, kunamai dewi Rekatawati, dan saudaramu itu kuberi nama raden Rajamala, lalu pergilah keempat putra Begawan Palasara ke Astina.

Sangat suka citalah Begawan Palasara, dengan kelahiran putranya dari Dewi Durgandini di Astina, diberi nama, Kresnadipayana, Abiyasa atau Biyasa adalah julukan nama dari ki lurah Semar.

Konon prabu Basukiswara, Raja Wiratha, menerima laporan tentang hilangnya sang Dewi Durgandini dari bengawan Silugangga, dan adanya suatu negara baru bernama Astina, di hutan Gajahoya, dengan rajanya bernama Begawan Palasara. Beliau amat murka. Putranya Raden Durgandana, diperintahkan untuk pergi ke Astina untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Setiba di negara Astina, Durgandana minta bertanding melawan Begawan Palasara putra-putra Palasara: Kencakarupa, Rupakenca, dan Rajamala tak kuasa mengundurkannya. Begawan Palasara bertanding sendiri dengan raden Durgandana. Kalahlah raden Durgandana. Di istana Astina diketahui bahwa Dewi Durgandini, diperistri oleh Begawan Palasara. Akhirnya disimpulkan Raden Durgandana dengan Dewi Rekathawati. Sukacitalah seluruh istana Astina. Resi Sentanu yang sedianya akan menggempur negara Wiratha, memerangi dahulu negara Astina. Begawan Palasara ditantang bertanding. Ajakan Resi Santanu diluluskan, sangat ramai perangnya tak ada yang kelihatan kalah atau menang, sehingga dewa harus mencampurinya. Hyang Narada turun ke bumi melerai peperangan tersebut. Kepada resi Santanu dan Begawan Palasara diberikan teka-teki. Berkatalah Hyang Narada, Wahai kau Santanu, dan kau Palasara, pilihlah, apa yang kau senangi, sah atau sempurna. Sah dipilih oleh resi Santanu dan sempurna dipilih oleh Begawan Palasara. Hyang Narada menceriterakan, sudah menjadi kehendak dewata, kau Santanu akan menikmati kebahagiaan di dunia, adapun kau Palasara, akan menurunkan ratu-ratu di kelak kemudian hari, dan menikmati kehidupan langgeng dan sempurna di kelak kemudian hari juga. Setelah itu Hyang Narada kembali ke kahyangan. Begawan Palasara segera meninggalkan istana Astina dan permaisurinya Dewi Durgandini, untuk pergi bertapa di Saptarengga. Di negara Wiratha, prabu Basukiswara menerima kembali kedatangan Dewi Durgandini, akhirnya dijodohkan pula dengan resi Santanu, seluruh istana bersuka cita. Resi Santanu bertahta menjadi raja di Astina, Gajahoya.

CATATAN: cerita Palasara Rabi diatas adalah versi jawa, perbedaan dengan beberapa cerita dalam pewayangan jawa sangat mungkin, mengingat banyak sumber yang dipakai, terutama yang dari India.

Demikian cerita dunia wayang, semoga menjadi hiburan bagi masyarakat para pecinta penyuka seni budaya yang merupakan warisan leluhur ini, sekaligus untuk ajang mempererat tali silaturahmi dan media informasi, dan tentunya yang tidak kalah penting pula adalah upaya melestarikan sebagai aset budaya bangsa.


motto
-Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
-Melestarikan budaya nasional warisan leluhur merupakan sebagai wujud jati diri dan ciri khas bangsa Indonesia.

Sumber: seni budaya pewayangan Indonesia

Cerita Wayang Perang Baratayudha

Perang Baratayudha (cerita wayang) Sebuah Kisah Sosok Pemimpin Yang Ambisi dan Haus Kekuasaan . Berdasarkan sejarah Perang Baratayudha, per...